Uswah yang Memudar di Tubuh NU

Oleh: Nurtaufik

Pada Muktamar ke-32 NU pada tgl 23-28 ini, banyak pihak yang menghimbau agar NU kembali ke khittah 1926. Istilah khittah ini mencuat ketika Muktamar 27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.

Menurut KHR. Asad Syamsul Arifin, kembali ke Khitah warga NU selalu berupaya meniru sepak terjang KH. Hasyim Asyari dan 1926 diartikan Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan baik tingkah lakunya maupun cara berfikirnya.”Kalau ada orang yang ceramah tapi merugikan NU maka tidak wajib kita mengikutinya. Walaupun itu dari PBNU!” tambah mediator berdirinya NU tersebut.

Sejak kembali NU ke jalur khittah 1926, maka dengan tegas NU tidak terikat dengan partai politik manapun serta melegalkan warganya menyalurkan aspirasi politiknya ke partai manapun, asalkan bertanggung jawab dan berakhlaqul karimah. Ternyata warga NU mempunyai potensi yang luar biasa dalam berpolitik yaitu bisa mewarnai partai manapun bahkan mereka bisa jadi public figure di partai tersebut.

Namun ternyata kedewasaan berpolitik warga NU masih diragukan. Kalau mau mengadopsi bahasanya Ustadz Nurul Al-Dholam, mereka masih banyak salah kaprah dalam berkiprah. Hal itu bisa kita lihat, masih banyak warga NU yang berpolitik dengan jalan yang kotor artinya banyak yang menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang menjadi keinginannya. Yang lebih ironis lagi sudah banyak pengurus- pengurus NU yang melepaskan dirinya mengabdi sebagai pengurus di NU. Mereka banyak yang hijrah menjadi pengurus partai dan sangat antusias menjadi calon wakil rakyat dari partai tersebut hingga mereka sibuk membesarkan dirinya sendiri dan jarang sekali memikirkan nasib NU sendiri.

Disamping itu, loyalitas dan militansi warga NU terhadap organisasinya tersebut patut dipertanyakan itu terbukti mereka masih menafikkan calon pemimpin yang sudah menjadi kader NU dan dibesarkan oleh NU. Tak hanya itu, imbas dari politik sudah mengubur budaya minta maaf dan saling memaafkan di intern NU sendiri, mereka selalu mengklaim kalau dirinya paling benar dan yang salah.

Untuk itu sudah saat ini sudah sepantasnya pengurus maupun tokoh – tokoh NU yang notabeninya sebagai public figure mengembalikan NU pada tujuan semula yaitu ormas. Misalnya dengan cara:

Pertama selalu berusaha mempererat ukhuwah terutama ukhuwah nahdiyah agar warga NU tidak mudah dipermainkan oleh mereka yang ingin merusak NU. misalnya dengan cara mengadakan kegiatan bersama dengan mengatasnamakan NU bukan kepentingan orang atau golongan tertentu.

Kedua memberi bimbingan keagamaan karena pada dasarnya NU lahir untuk membentengi dan melestarikan paham keagamaan ala ahlussunnah waljamah.

Ketiga selalu memberi contoh yang baik dalam berpolitik agar warganya bisa berfikir dewasa dan selalu menggunakan ahlaqul karimah dalam berpolitik dan berkiprah di politik semata-mata untuk kepentingan NU.

Keempat memberikan pemahaman kepada warganya kalau perbedaan itu sebuah rahmat. Selama perbedaan itu tidak merugikan NU apalagi sampai menghancurkan NU.

Kelima selalu bermusyawarah dalam menentukan kebijakan baik dalam masalah agama, sosial maupun dalam menentukan pemimpin agar nantinya warga NU tidak kebingungan hingga menimbulkan perpecahan. Bukankah NU sejak proses kelahirannya tidak pernah meninggalkan musyawarah?

Keenam memberi gambaran tentang perjuangan ulama NU terdahulu agar warga NU mempunyai loyalitas dan militansi terhadap NU serta memperkenalkan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh ulama NU terdahulu untuk dijadikan rujukan dalam melangkah.

Ketujuh, tidak pernah merasa dirinya paling benar artinya sebagai manusia tentu pernah benar dan tidak menutup kemungkinan pernah salah. Itu sinergi dengan sabda nabi Muhammad SAW. ”Setiap anak Adam pasti berdosa dan paling baiknya orang yang berdosa yaitu bertaubat.”

Jadi di kalangan NU harus selalu membudayakan minta maaf dan memaafkan atas kesalahan yang dilakukan.

(Mahasiswa Fakultas Dakwah IAII)

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah